PERAN NUTRISI DALAM SISTEM IMUN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Gizi merupakan faktor penentu yang penting dari respon imun tubuh dan
kekurangan gizi merupakan penyebab kurangnya kekebalan tubuh
(immunodeficiency). Bukti menunjukan pada saat kekurangan zat gizi mikro: Zn,
Se, Fe, Cu, Vitamin A, C, E dan Vitamin B6 serta asam folat, memiliki pengaruh
penting terhadap respon imun. Misalnya kekurangan vitamin A dapat menyebabkan
“impaired defence” dipermukaan epithelial yang disebabkan oleh rusaknnya
struktur epitel, selain itu juga terjadi perubahan mucous dan menurunnya
sekretori IgA serta menurunkan fungsi neutrofil, makrofag dan natural killer.
Kondisi defisiensi vitamin A akan merubah sel B dan proliferasi sel T.
Zat gizi, merupakan faktor utama dalam pengaturan respon imun. Turunan zat gizi makro dan mikro pada makanan mempengaruhi fungsi imun tubuh melalui beberapa kegiatan dalam saluran cerna, timus, limfa. Pengaruh dari jenis zat gizi tergantung pada konsentrasi, interaksi zat gizi, genetika inang dan kondisi lingkungan internal.
Zat gizi, merupakan faktor utama dalam pengaturan respon imun. Turunan zat gizi makro dan mikro pada makanan mempengaruhi fungsi imun tubuh melalui beberapa kegiatan dalam saluran cerna, timus, limfa. Pengaruh dari jenis zat gizi tergantung pada konsentrasi, interaksi zat gizi, genetika inang dan kondisi lingkungan internal.
Secara umum, zat gizi mempengaruhi sistem imun melalui mekanisme
pengaturan ekspresi dan produksi sitokin. Karena pola produksi sitokin
merupakan hal penting dalam merespon infeksi, ketidakseimbangan gizi yang
serius pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan respon imun dimasa yang
akan datang.
Infeksi menyebabkan kematian jutaan anak dan hampir jutaan ibu di dunia setiap harinya.
Infeksi menyebabkan kematian jutaan anak dan hampir jutaan ibu di dunia setiap harinya.
Dengan strain baru patogen dan perkembangan resistensi terhadap
antibiotika, dibutuhkan strategi baru untuk mengontrol infeksi. Perlu aturan
baru bagi intervensi gizi untuk menurunkan tingkat kematian dan kesakitan pada
ibu dan anak. Penelitian gizi dan teknologi pangan dapat berperan
mengaplikasikan ilmu pada berbagai tahap kebijakan.
Pentingnya pencegahan serta mengeliminasi malnutrisi sebagai strategi untuk menurunkan prevalensi, keparahan dan kematian oleh penyakit infeksi. WHO dan UNICEF memperkirakan hampir 60% anak meninggal kerena dihubungkan dengan malnutrisi.
Pentingnya pencegahan serta mengeliminasi malnutrisi sebagai strategi untuk menurunkan prevalensi, keparahan dan kematian oleh penyakit infeksi. WHO dan UNICEF memperkirakan hampir 60% anak meninggal kerena dihubungkan dengan malnutrisi.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1
Peran Energi dan Protein
2
Peranan Lemak dan Asam Lemak
3
Vitamin A dan Respons Imun
4
Zat Besi dan Respons Imun
5
Zinc dan Respons Imun
6
Peranan Mikronutrien Lainnya Bagi Fungsi
Imun
7
Zat Gizi dan Cytokine
1.3 TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Mengetahui
Peran Energi dan Protein
2. Mengetahui
Peranan Lemak dan Asam Lemak
3. Mengetahui
Vitamin A dan Respons Imun
4. Mengetahui
Zat Besi dan Respons Imun
5. Mengetahui
Zinc dan Respons Imun
6. Mengetahui
Peranan Mikronutrien Lainnya Bagi Fungsi Imun
7. Mengetahui
Zat Gizi dan Cytokine
BAB II
ISI
2.1
PERANAN
ENERGI DAN PROTEIN
Dampak KEP (zat gizi makro) pada
timbulnya penyakit infeksi, terutama pada bayi dan anak-anak telah diteliti
secara luas. Intervensi gizi (energi dan protein) pada bayi dan anak-anak dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian di Asia dan Amerika Latin. Berbagai
penelitian juga telah secara meyakinkan menunjukkan bahwa peranan gizi pada
penurunan angka kesakitan dan kematian ini adalah melalui perbaikan pada fungsi
imunitas. Kekurangan energi-protein, misalnya, berkaitan dengan gangguan
imunitas berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem
komplemen, sekresi antibodi imunoglobulin A, dan produksi sitokin (Chandra,
1997). Penelitian pada orang usia lanjut juga menunjukkan fenomena yang sama.
Kekurangan energi-protein dapat mengarah pada imunodefisiensi yang parah pada
orang usia lanjut, yang mempengaruhi tidak hanya imunitas spesifik (B-dan
T-lymphocytes) tetapi juga imunitas nonspesifik (polymorphonuclear dan
monosit). Orang usia lanjut penderita KEP melepaskan lebih sedikit monokin yang
menyebabkan menurunnya rangsangan limposit (Lesourd, 1997). Sebagai
konsekuensinya, untuk merangsang respons imunitas spesifik pada taraf yang
memadai, tubuh mengekspresikan respons fase-akut jangka panjang. Efek ini lebih
berat pada orang usia lanjut karena mobilisasi simpanan zat gizi dalam tubuh
kurang efektif pada usia ini (Klasing, 1988).
2.2
PERANAN
LEMAK DAN ASAM LEMAK
Timbulnya berbagai macam penyakit
dipengaruhi oleh kekuatan daya tahan tubuh dan terbukti ada hubungan antara
imunitas dengan diet lemak. Pada individu yang sehat dengan gizi yang baik,
tubuh mampu bertahan dari agen-agen infektif (yang menginfeksi) dengan
memobilisasi sumber-sumber dari sistem imun (Gurr, 1992). Sistem imun termasuk
sel-sel thymus, lymph nodes, limpa, dan tulang sumsum dan merupakan sistem yang
paling kompleks dalam tubuh setelah sistem syaraf. Sifat yang interaktif dalam
sistem imun memungkinkannya untuk mengenali dan menyerang zat-zat asing
(non-self) dan mengenali serta menjaga zat-zat dari tubuh sendiri (self).
Sistem imun menggunakan sistem
limfatik dan peredaran darah sebagai lalu lintasnya ke seluruh tubuh (Sherman
dan Hallquist, 1990). Hal ini meliputi produksi anti bodi yang spesifik yang
mengenal organisme penginfeksi atau material asing lainnya (antigen) atau
aktivasi jaringan proteksi dari sel khusus yang disebut limfosit. Kedua sistem
ini masing-masing dikenal sebagai humoral imunity,yang merupakan pertahanan
imunologik yang melindungi tubuh terhadap bakteri dan toksin dengan sirkulasi
komponen yang dihasilkan sel, terutama antibody dan cell mediated immunity,
yang merupakan pertahanan imunologik yang termasuk setiap respons imun yang
dimedisi oleh sel-sel dalam sistem imun lebih baik dibandingkan antibodi
(Sherman dan Hallquist, 1990; Gurr, 1992).
Lebih jauh Kresno (1996) menjelaskan
bahwa bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua
jenis respons imun yang mungkin terjadi, yaitu respons imun nonspesifik dan
respons imun spesifik. Respons imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas
bawaan (innate immunity) dalam arti bahwa respons terhadap zat asing dapat
terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut,
sedangkan respon imun spesifik merupakan respons didapat (acquired) yang timbul
terhadap antigen tertentu, karena tubuh pernah terpapar sebelumnya.
Sel-sel inflammatory seperti
neutrofil,monosit, dan makrofag membentuk bagian dari respons imun bawaan yang
bertanggung jawab untuk pertahanan awal inang terhadap masuknya bakteri.
Sel-sel inflammatory mengenali bakteria dengan jalan yang nonspesifik dan
beraksi untuk menghancurkan mereka dengan fagositosis, dengan memproduksi
superoksida dan jenis oksigen reaktif yang berkenaan dalam respiratory burst,
atau keduanya.
Komponen dinding sel bakteria
seperti lipopolisakarida (LPS) merangsang produksi sitokinin seperti tumor
necrosis factor (TNF) dan interleukin 1 (IL-1) dan IL-6 oleh monosit dan
makrofag. Sitokinin inflammatory menghubungkan antara sel-sel inflammatory dan
imunitas spesifik karena dapat merangsang limfosit T dan B. Monosit dan
makrofag juga dapat bertindak sebagai sel-sel penghasil antigen, yang membuat
hubungan lain antara sistem imun spesifik dan bawaan.
Ketika limfosit T hadir bersama
antigen, ia menjadi aktif menghasilkan sitokinin, akhirnya memasuki siklus sel
dan membelah. Limfosit T diklasifikasikan ke dalam sel-sel T penolong. Limfosit
T juga dapat dibagi lagi secara fungsional menurut pola sitokinin yang
dihasilkan. Limfosit T penolong tipe 1menghasilkan IL-2 dan interferon γ(IFN-
γ), sedangkan limfosit T penolong tipe 2 menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-10
(Kew et al.,2003a).
Pada manusia, malnutrisi
protein-energi jelas menekan sistem cell mediated immune dan meningkatkan
resiko infeksi. Malfungsi dari sistem imun juga dapat terjadi pada kondisi
defisiensi Zn, vit A, dan asam lemak esensial/essential fatty acids (EFA)
(Gurr, 1992). EFA merupakan asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan untuk makanan
yang sempurna yang harus tersedia dalam diet, karena tidak mampu disintesa oleh
tubuh. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam linoleat(C18-2n-6), linolenat
(C18-3n-3) dan arakidonat (C20-4n-6), yang merupakan asam lemak tak jenuh
ganda/PUFA (Anggorodi, 1984; Marinetti, 1990).
Marinetti (1990) membagi asam lemak
tak jenuh ke dalam tiga kelompok, yaitu: asam oleat (ω-9), asam linoleat (ω-6)
dan asam linolenat (ω-3), yang secara metabolis tidak dapat dipertukarkan.
Penelitian tentang pengaruh PUFA (ω-6) dan (ω-3) terhadap sistem imun sudah
dilakukan, dan studi epidemiologis memperlihatkan penurunan infeksi pada
populasi yang mengkonsumsi PUFA (ω-3). Hal ini mengindikasikan pentingnya PUFA
(ω-3) dalam sistem imun (Kelley et al., 1988).
Pemberian PUFA dalam diet dapat
berpengaruh positif dalam menghindari terjadinya kelainan inflammatory dan
autoimun yang akan mencegah terjadinya kondisi-kondisi seperti atherosclerosis
dan rhematoid arthritis (Rundles, 2003). Hal ini karena PUFA merupakan bahan
baku bagi tubuh untuk memproduksi substansi serupa hormon yang mengatur
fungsi-fungsi tubuh secara luas, antara lain terhadap tekanan darah, formasi
pembekuan darah, lemak darah, respons imun, respons inflamasi terhadap luka dan
infeksi (Sizer dan Whitney, 2000).
Asam linoleat dan asam linolenat
merupakan PUFA utama dalam kebanyakan diet. Asam linoleat adalah bentuk PUFA
utama dalam tubuh, biasanya mencapai 12-15% dari asam lemak pada jaringan
lemak. Pada jaringan tubuh bebaslemak terdapat tiga PUFA dari profil asam lemak
(asam linolenat, asam arakidonat, asam docosaheksanoat) yang jumlahnya kurang
dari 5%. Selain itu pada lemak tubuh, ada dua PUFA yang aktif secara biologis
yaitu asam dihomo-γ-linolenat (C20:3n-6) dan asam eicosapentanoat (C20:5n-3),
meskipun jumlahnya hanya 1-3% dari total asam lemak. Ikan laut merupakan sumber
yang kaya PUFA.
Asam linolenat merupakan anggota
utama dalam kelompok asam lemak ω-3, dan telah diakui peranannya dalam dunia
kesehatan. Pertanyaan mengapa penduduk asli Greenland dan Alaska yang
mengkonsumsi lemak tinggi jarang terkena penyakit jantung, terjawab dengan
kenyataan bahwa mereka mengkonsumsi sejumlah besar ikan laut dan minyak yang
terdapat di dalamnya. Minyak ikan mengandung asam eicosapentanoat (EPA)
(C20:5n-3) dan asam docosa-heksanoat (DHA) (C22:6n-3) yang termasuk dalam kelompok
asam lemak ω-3. Selain merupakan bagian terbesar dari cortex cerebral otak dan
diperlukan bagi perkembangannya serta membantu pembentukan retina mata yang
dibutuhkan untuk penglihatan normal, asam-asam lemak ini juga dapat dikonversi
menjadi produk serupa hormon yang mempengaruhi jantung dan sistem imun (Sizer
dan Whitney, 2000).
EPA mendapat perhatian khusus
menyangkut fungsinya sebagai prekursor asam eicosanoid dengan jumlah karbon20,
yang penting secara fisiologis. Asam ini termasuk kelompok substansi yang
secara fisiologis potensial yaitu prostaglandin, thromboxan dan leukotrin.
Ketiga substansi ini terbentuk dari prekursor asam lemak dengan masuknya atom
oksigen ke dalam rantai asam lemak. Asam lemak terpenting yang bertindak
sebagai prekursor untuk sintesa asam eicosanoid adalah asam arakhidonat. Proses
oksigenasi terjadi dalam dua jalur utama, yaitu: jalur siklik yang membentuk
prostaglandin dan thromboxan; dan jalur linier yang menghasilkan leukotrin
(Groff dan Gropper, 2000).
Pembentukan prostaglandin dan
thromboxan menjadi penting karena perannya dalam agregasi platelet. Ada dua
jenis PUFA yang terlibat dalam produksi kedua substansi tadi, yaitu asam
linoleat sebagai prekursor asam arakidonat dan asam linolenat sebagai prekursor
EPA dan DHA.
Prostacyclin (prostaglandin siklik)
(PGI) dan thromboxan (TXA) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap agregasi
platelet menurut tipenya. Asam arakidonat mengandung rasio PGI2/TXA2 yang
cenderung merangsang agregasi platelet. Asam arakidonat juga berpotensi sebagai
proinflammatory yang menyebabkan peningkatan produksi IL-1, TNF-α, IL-6.
Sedangkan konsumsi ikan laut yang menyediakan EPA dalam jumlah tinggi dapat
melindungi manusia dari trombosis dan serangan jantung karena mengandung rasio
PGI3/TXA3 yang terbaik. Pemberian minyak ikanjuga diketahui dapat menekan
produksi prostaglandin dan thromboxan dari asam arakidonat, sehingga membatasi
pengaruh inflammatory dengan menghasilkan prostaglandindan leukotrin seri 3 dan
5 (Lands, 1982; Marinetti, 1990; McCowen dan Bistrian, 2003; Trebble, 2003).
Selain menghambat agregasi platelet,
minyak ikan juga berpengaruh dalam hipolipidemia dan menurunkan kolesterol
plasma, yang pada akhirnya akan meminimalisir pembentukan plak. EPA dalam
minyak ikan jugadapat menurunkan produksi faktor pengaktif platelet/platelet
activating-factor (PAF), dan bersifat anti inflamasi karena menekan produksi
leukotrin-B4 dalam leukosit yang menyebabkan respons inflammatory pada leukosit
(Marinetti, 1990).
Meskipun EPA dan DHA dapat disintesa dari asam
linolenat, tetapi kelebihan asupan asam linoleat dan asam α-linolenat tampaknya
menghambat produksi asam lemak yang berasal dari kelompok yang sama. Oleh
karena itu konsumsiikan tetap dibutuhkan untuk menjamin kecukupan EPA dan DHA
untuk menjaga berbagai fungsi tubuh (Cunnane dan Griffin, 2002).
2.3
VITAMIN
A DAN RESPONS IMUN
Peranan vitamin A dalam sistem imun Vitamin A
mempunyai peranan penting di dalam pemeliharaan sel epitel. Sel epitel
merupakan salah satu jaringan tubuh yang terlibat di dalam fungsi imunitas
non-spesifik. Imunitas non-spesifik melibatkan pertahanan fisik seperti kulit,
selaput lendir, silia saluran nafas. Peranan vitamin A dalam sistem imunitas
non spesifik terlihat pada integritas mukosa epitel yang telah banyak diuraikan
oleh Sommer dan Tarwotjo dan Karyadi et al. 16,17.
Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak kekurangan vitamin A berisiko
menderita penyakit saluran pernafasan dan mengalami keparahan penyakit
diare.16,17 Vitamin A juga mempunyai peranan dalam selsel mukosa saluran cerna.
18 Selain itu kekurangan vitamin A berdampak pada penglihatan yaitu dimulai
dengan terganggunya integritas mukosa epitel, yang disebabkan karena hilangnya
sel goblet penghasil mukus. 19 Vitamin A selain mempunyai peranan penting pada
imunitas non-spesifik, juga berperan pada imunitas seluler.
Dalam bekerja imunitas seluler melibatkan sel darah
putih baik mononuklear maupun polinuklear, serta sel NK (natural killer). Sel
sel ini berperan sebagai sel yang menangkap antigen, mengolah dan selanjutnya
mempresentasikan ke sel T, yang dikenal sebagai sel penyaji atau APC (antigen
presenting cell) dan selanjutnya memacu produksi sitokin dan pada akhirnya
meningkatkan produksi sel B dan antibodi. Beberapa hasil penelitian menemukan
bahwa peranan vitamin A pada imunitas seluler yaitu dengan cara mengurangi
fungsi neutrofil, makrofag, dan sel NK.20,21.
2.4
ZAT
BESI DAN RESPONS IMUN
Seperti kita ketahui bahwa besi sangat berperan
dalam sintesa hemoglobin dan terkait erat dengan masalah anemia. Peranan zat
besi berhubungan dengan kemampuannya dalam reaksi oksidasi dan reduksi, zat
besi merupakan unsur yang sangat reaktif sehingga mampu berinteraksi dengan
oksigen. Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga elektron sehingga
memiliki tiga sisa muatan positif (Fe 3+ /feri), sedangkan dalam keadaan
tereduksi besi kehilangan dua elektron sehingga memiliki dua sisa muatan
positif (Fe2+ /fero).
Keberadaan besi dalam dua bentuk ion ini menyebabkan
besi berperan dalam proses respirasi sel yaitu sebagai kofaktor bagi enzimenzim
yang terlibat dalam reaksi oksidasireduksi. 5,35 Aktifitas SOD (superoksida
dismutase) dan katalase bergantung pada zat besi ini. Antioksidan enzimatis
bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru. 22,26 Sebagian
besar zat besi berada dalam hemoglobin, hemoglobin didalam darah membawa
oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbon
dioksida dari seluruh sel keparu paru untuk dikeluarkan tubuh, selain itu zat
besi juga berperan dalam imunitas dan pembentukan sel-sel limfosit.
Disamping itu dua protein pengikat besi yaitu
transferin dan laktoferin dapat mencegah terjadinya infeksi dengan cara
memisahkan besi dari mikroorganisme, karena besi diperlukan oleh mikroorganisme
untuk berkembang biak. Kekurangan besi akan berdampak pada reaksi imunitas
berupa aktivitas neutrofil yang menurun, dan sebagai konsekuensinya kemampuan
untuk membunuh bakteri intraseluler secara nyata menjadi terganggu. Sel NK
sensitif terhadap ketidakseimbangan besi dan memerlukan jumlah besi yang cukup
untuk berdiferensiasi dan berproliferasi, jika tubuh kekurangan besi kemampuan
sel NK untuk membunuh bakteri menjadi rendah.31,35.
2.5
ZINC
DAN RESPONS IMUN
Zn
memiliki fungsi yang sangat luas, karena Zn merupakan kofaktor lebih dari 200
enzim, yang berfungsi mengkatalisis metabolisme energi, karbohidrat dan lemak,
degradasi/ sintesis protein, sintesis asam nukleat, sintesis heme, transpor
CO2. Zn juga merupakan komponen membran sel, menstabilkan fungsi RNA, DNA dan
ribosom, menstabilkan kompleks hormon dan reseptornya, serta perannya dalam
meregulasi polimerisasi tubulin. Sehingga fungsi fisiologisnya penting bagi
pertumbuhan sel dan jaringan, repklikasi sel, formasi tulang, integritas kulit,
cell mediated immunity (CMI), bekerjanya berbagai hormone dan antioksidan dalam
tubuh, sehingga defisiensi. Zn memberikan manifestasi klinik yang multipel,
seperti retardasi pertumbuhan, maturasi seksual yang terlambat, impotensi,
hipogonadism dan hipospermia, alopesia, lesi kulit dan epitel lain, gangguan
perilaku dan intelektual, lesi mata, fotofobia dan buta senja, penurunan fungsi
pengecapan dan nafsu makan, gangguan penyembuhan luka, dan defisiensi imun.
Fungsi terakhir ini yang akan dibahas.
Perubahan
distribusi Zn adalah bagian dari acute phase responcepada keadaan infeksi,
yaitu terjadi pengaliran Zn dari sirkulasi ke dalam sel, terutama sel hati,
timus, dan sumsum tulang. Efek ini dimaksudkan untuk meningkatkan
metalothionein, yang pembentukannya diregulasi oleh IL-1. Zn juga diperlukan
dalam transkripsi DNA dan translasi RNA, untuk proliferasi sel-sel limfoid
sebagai respons imun. Defisiensi Zn mengakibatkan pengurangan massa jaringan
limfoid lebih banyak daripada jaringan lain. Sehingga defisiensi Zn dapat
mengganggu respons imun afektor dan efektor. Disamping itu, hormon timulin yang
berfungsi dalam proses maturasi dan diferensiasi sel T adalah metaloprotein Zn.
Akibatnya, terjadi atrofi timus, kegagalan maturasi dan replikasi sel T,
limfopenia, kegagalan penyembuhan luka, menurunkan kemampuan delayed-type
hypersensitivity (DTH), kegagalan CMI dan kerentanan terhadap penyakit. Pola
ini terdapat pada anak-anak yang menderita acrodermatitis enteropathica, yaitu
penyakit herediter dengan ketidakmampuan mengabsorpsi Zn. Anak-anak penderita
penyakit ini mengalami kerusakan kulit yang berat, gangguan SSP, malfungsi
gastrointestinal, dan infeksi berulang, terutama oleh jamur. Namun defek sistem
imun ini dapat diperbaiki dengan suplementasi Zn.
Selain
pengaruhnya yang sangat luas dan mendasar, tampak efek Zn pada fungsi imun
saling terkait satu sama lain. IL-1 menginduksi ekspresi gen metalothionein dan
mengalirkan Zn dari plasma ke jaringan. Pada saat yang bersamaan, produksi
sitokin yang meregulasi sistem imun, yaitu IL-1, IL-2 dan IFN, membutuhkan Zn.
Sehingga, penurunan respons proliferasi limfosit T bisa disebabkan karena
perubahan metabolisme sitokin atau langsung pada penurunan replikasi DNA
limfosit. Akibatnya terjadi kegagalan CMI, khususnya fungsi sel Tc dan Th.
Defisiensi Zn juga menyebabkan gangguan fungsi sel NK, netrofil dan ADCC, serta
akibatkan penurunan respon sekunder dan sel-sel memori.
2.6
PERANAN
MIKRONUTRIEN LAINNYA BAGI FUNGSI IMUN
a. Vitamin
C
Peranan
vitamin C dalam sistem imun Vitamin C dikenal sebagai antioksidan yang membantu
menetralisir radikal bebas. Vitamin C sebagai antioksidan karena kemampuannya
dalam mereduksi beberapa reaksi kimia, salah satunya vitamin C mampu mereduksi
spesies oksigen reaktif (SOR). Vitamin C juga mempunyai peran sebagai donor
elektron. Kemampuan vitamin C sebagai donor elektron membuat vitamin C menjadi
sangat efektif sebagai antioksidan karena vitamin C dapat dengan cepat memutus
rantai reaksi SOR (Spesies Oksigen Reaktif) dan SNR (Spesies Nitrogen
Reaktif).5 Peran vitamin C di dalam sistem imun terkait erat dengan peran
vitamin C sebagai antioksidan. Oleh karena vitamin C mudah mendonorkan
elektronnya ke radikal bebas maka sel-sel termasuk sel imun terlindung dari
kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Winarsi 2007, melaporkan bahwa
vitamin C meningkatkan fungsi imun dengan menstimulasi produksi interferon
(protein yang melindungi sel dari serangan virus).
adalah
salah satu sitokin yang dihasilkan karena adanya komunikasi sel yang baik dan
untuk menjaga komunikasi tersebut tetap baik maka diperlukan sel imun yang
sehat dengan membran sel yang utuh.26 Vitamin C juga mempunyai peran dalam
sintesa kolagen untuk menjaga kesehatan kulit. Kulit adalah salah satu jaringan
tubuh yang berperan di dalam imunitas non spesifk. Kulit yang utuh dan sehat
dapat menjaga masuknya unsur patogen ke dalam tubuh. Kulit merupakan barier
pertama yang menjaga masuknya benda asing sehingga mencegah terjadinya infeksi.
Penelitian untuk menguji peranan vitamin C terhadap terjadinya infeksi telah
dilakukan oleh Peter27, pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian
vitamin C dengan dosis 600 mg/hari dapat menurunkan infeksi.
Sementara itu hasil penelitian lain menyatakan
bahwa bahwa konsumsi vitamin C 500-1000 mg/hari dapat memberikan efek
antioksidan yang optimal.28 Kekurangan vitamin C dapat menimbulkan tanda-tanda
klinis seperti perdarahan dan bengkak di gusi, rasa nyeri pada persendian
akibat konsentrasi vitamin C di plasma darah dan leukosit yang sangat rendah.
Kekurangan Vitamin C akut menyebabkan scorbut dan seseorang dengan kondisi
kekurangan vitamin C dapat menurunkan kekebalan selulernya.
b. Selenium
Selenium
adalah mineral kelumit yang penting untuk sintesis protein dan aktivitas enzim
glutation peroksidase (GSH-PX). Selenium dalam glutation peroksidase mempunyai
peranan sebagai katalisator dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam
tubuh menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik. Peroksida dapat berubah
menjadi radikal bebas yang dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh yang ada
pada membran sel, sehingga merusak membran sel. Oleh karena itu disebutkan
dalam beberapa literatur bahwa selenium bekerjasama dengan vitamin E dan
berperan sebagai antioksidan. Kerjasama tersebut terjadi karena vitamin E
menjaga membran sel dari radikal bebas dengan melepas ion hidrogennya,
sedangkan selenium berperan dalam memecah peroksida menjadi ikatan yang tidak
reaktif sehingga tidak merusak asam lemak tidak jenuh yang banyak terdapat
dalam membran, membantu mempertahankan integritas membran dan melindungi DNA
dari kerusakan.
Integritas
membran sel sangat diperlukan dalam sistem imunitas karena produksi sitokin
sangat ditentukan oleh reseptor yang terdapat dalam membran sel, oleh karena
itu selenium sangat diperlukan untuk meningkatkan imunitas seluler. Disamping
itu kerusakan DNA juga akan mempengaruhi makrofag dalam fagositosis sehingga
akan menurunkan fungsi makrofag sebagai APC. Kekurangan selenium yang berdampak
pada imunitas sudah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian
mengungkapkan bahwa pada keadaan kekurangan selenium akan terjadi penurunan
titer IgG dan IgM, mengganggu kemotaksis neutrofil dan produksi antibodi oleh
limfosit, mengganggu dan meningkatkan CD4+ dan menurunkan CD8+ .30,31
2.7
ZAT
GIZI DAN CYTOKINE
Secara umum, zat gizi mempengaruhi system imun
melalui mekanisme pengaturan pengaruh ekspresi dan produksi cytokines. Karena
pola produksi cytokines adalah penting untuk respons terhadap infeksi pathogen,
ketidakseimbangan gizi yang serius pada akhirnya akan mempengaruhi pengembangan
respon imun dimasa yang akan datang.
Namun, ketika malnutrisi menyebabkan kerentanan
terhadap pathogen, infeksi subklinik sekalipun secara langsung mempengaruhi
intake zat gizi dan metabolisme. Gangguan pada berbagai aspek imunitas, termasuk fagositosis,
respons proliferasi sel ke mitogen, serta produksi T-lymphocytedan sitokin
telah ditemukan pada kondisi kekurangan gizi (Chandra and Kumari, 1994;
Chandra, 1990; Kulkarni et al.1994).
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Status
gizi merupakan determinan penting bagi respons imunitas.Perbaikan pada fungsi
imunitas merupakan faktor antara peran gizi pada pencegahan penyakit infeksi.
Gizi dan penyakit infeksi berkaitan secara sinergistis. Penelitian mutakhir
menghasilkan paradigma baru kaitan antara gizi (diet) dan patogen (agen), yaitu
diet diketahui mempengaruhi agen (misalnya terjadi mutasi virus). am memerangi
malnutrisi dan infeksi, imunitas tubuh merupakan modal yang sangat vital,
karenanya segala upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif diperlukan,
termasuk dalam bidang gizi. Asupan makanan berperan langsung memperbaiki
imunitas tubuh, khususnya melalui zat gizi spesifik penunjang sistem imun.
3.2 SARAN
Tingkat
kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari tingkat kesehatan dari masyarakat di bangsa
tersebut. Untuk itu marilah kita berusaha untuk meningkatkan status kesehatan
Indonesia, lebih khususnya melalui status gizi bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar