PERAN NUTRISI DALAM SISTEM IMUN



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Gizi merupakan faktor penentu yang penting dari respon imun tubuh dan kekurangan gizi merupakan penyebab kurangnya kekebalan tubuh (immunodeficiency). Bukti menunjukan pada saat kekurangan zat gizi mikro: Zn, Se, Fe, Cu, Vitamin A, C, E dan Vitamin B6 serta asam folat, memiliki pengaruh penting terhadap respon imun. Misalnya kekurangan vitamin A dapat menyebabkan “impaired defence” dipermukaan epithelial yang disebabkan oleh rusaknnya struktur epitel, selain itu juga terjadi perubahan mucous dan menurunnya sekretori IgA serta menurunkan fungsi neutrofil, makrofag dan natural killer. Kondisi defisiensi vitamin A akan merubah sel B dan proliferasi sel T.
Zat gizi, merupakan faktor utama dalam pengaturan respon imun. Turunan zat gizi makro dan mikro pada makanan mempengaruhi fungsi imun tubuh melalui beberapa kegiatan dalam saluran cerna, timus, limfa. Pengaruh dari jenis zat gizi tergantung pada konsentrasi, interaksi zat gizi, genetika inang dan kondisi lingkungan internal.
Secara umum, zat gizi mempengaruhi sistem imun melalui mekanisme pengaturan ekspresi dan produksi sitokin. Karena pola produksi sitokin merupakan hal penting dalam merespon infeksi, ketidakseimbangan gizi yang serius pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan respon imun dimasa yang akan datang.
Infeksi menyebabkan kematian jutaan anak dan hampir jutaan ibu di dunia setiap harinya.
Dengan strain baru patogen dan perkembangan resistensi terhadap antibiotika, dibutuhkan strategi baru untuk mengontrol infeksi. Perlu aturan baru bagi intervensi gizi untuk menurunkan tingkat kematian dan kesakitan pada ibu dan anak. Penelitian gizi dan teknologi pangan dapat berperan mengaplikasikan ilmu pada berbagai tahap kebijakan.
Pentingnya pencegahan serta mengeliminasi malnutrisi sebagai strategi untuk menurunkan prevalensi, keparahan dan kematian oleh penyakit infeksi. WHO dan UNICEF memperkirakan hampir 60% anak meninggal kerena dihubungkan dengan malnutrisi.

1.2  RUMUSAN MASALAH
1        Peran Energi dan Protein
2        Peranan Lemak dan Asam Lemak
3        Vitamin A dan Respons Imun
4        Zat Besi dan Respons Imun
5        Zinc dan Respons Imun
6        Peranan Mikronutrien Lainnya Bagi Fungsi Imun
7        Zat Gizi dan Cytokine

1.3  TUJUAN PEMBELAJARAN
1.      Mengetahui Peran Energi dan Protein
2.      Mengetahui Peranan Lemak dan Asam Lemak
3.      Mengetahui Vitamin A dan Respons Imun
4.      Mengetahui Zat Besi dan Respons Imun
5.      Mengetahui Zinc dan Respons Imun
6.      Mengetahui Peranan Mikronutrien Lainnya Bagi Fungsi Imun
7.      Mengetahui Zat Gizi dan Cytokine









BAB II
ISI
      2.1      PERANAN ENERGI DAN PROTEIN
Dampak KEP (zat gizi makro) pada timbulnya penyakit infeksi, terutama pada bayi dan anak-anak telah diteliti secara luas. Intervensi gizi (energi dan protein) pada bayi dan anak-anak dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian di Asia dan Amerika Latin. Berbagai penelitian juga telah secara meyakinkan menunjukkan bahwa peranan gizi pada penurunan angka kesakitan dan kematian ini adalah melalui perbaikan pada fungsi imunitas. Kekurangan energi-protein, misalnya, berkaitan dengan gangguan imunitas berperantara sel (cell-mediated immunity), fungsi fagosit, sistem komplemen, sekresi antibodi imunoglobulin A, dan produksi sitokin (Chandra, 1997). Penelitian pada orang usia lanjut juga menunjukkan fenomena yang sama. Kekurangan energi-protein dapat mengarah pada imunodefisiensi yang parah pada orang usia lanjut, yang mempengaruhi tidak hanya imunitas spesifik (B-dan T-lymphocytes) tetapi juga imunitas nonspesifik (polymorphonuclear dan monosit). Orang usia lanjut penderita KEP melepaskan lebih sedikit monokin yang menyebabkan menurunnya rangsangan limposit (Lesourd, 1997). Sebagai konsekuensinya, untuk merangsang respons imunitas spesifik pada taraf yang memadai, tubuh mengekspresikan respons fase-akut jangka panjang. Efek ini lebih berat pada orang usia lanjut karena mobilisasi simpanan zat gizi dalam tubuh kurang efektif pada usia ini (Klasing, 1988).


      2.2      PERANAN LEMAK DAN ASAM LEMAK
Timbulnya berbagai macam penyakit dipengaruhi oleh kekuatan daya tahan tubuh dan terbukti ada hubungan antara imunitas dengan diet lemak. Pada individu yang sehat dengan gizi yang baik, tubuh mampu bertahan dari agen-agen infektif (yang menginfeksi) dengan memobilisasi sumber-sumber dari sistem imun (Gurr, 1992). Sistem imun termasuk sel-sel thymus, lymph nodes, limpa, dan tulang sumsum dan merupakan sistem yang paling kompleks dalam tubuh setelah sistem syaraf. Sifat yang interaktif dalam sistem imun memungkinkannya untuk mengenali dan menyerang zat-zat asing (non-self) dan mengenali serta menjaga zat-zat dari tubuh sendiri (self).
Sistem imun menggunakan sistem limfatik dan peredaran darah sebagai lalu lintasnya ke seluruh tubuh (Sherman dan Hallquist, 1990). Hal ini meliputi produksi anti bodi yang spesifik yang mengenal organisme penginfeksi atau material asing lainnya (antigen) atau aktivasi jaringan proteksi dari sel khusus yang disebut limfosit. Kedua sistem ini masing-masing dikenal sebagai humoral imunity,yang merupakan pertahanan imunologik yang melindungi tubuh terhadap bakteri dan toksin dengan sirkulasi komponen yang dihasilkan sel, terutama antibody dan cell mediated immunity, yang merupakan pertahanan imunologik yang termasuk setiap respons imun yang dimedisi oleh sel-sel dalam sistem imun lebih baik dibandingkan antibodi (Sherman dan Hallquist, 1990; Gurr, 1992).
Lebih jauh Kresno (1996) menjelaskan bahwa bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis respons imun yang mungkin terjadi, yaitu respons imun nonspesifik dan respons imun spesifik. Respons imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity) dalam arti bahwa respons terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar pada zat tersebut, sedangkan respon imun spesifik merupakan respons didapat (acquired) yang timbul terhadap antigen tertentu, karena tubuh pernah terpapar sebelumnya.
 Sel-sel inflammatory seperti neutrofil,monosit, dan makrofag membentuk bagian dari respons imun bawaan yang bertanggung jawab untuk pertahanan awal inang terhadap masuknya bakteri. Sel-sel inflammatory mengenali bakteria dengan jalan yang nonspesifik dan beraksi untuk menghancurkan mereka dengan fagositosis, dengan memproduksi superoksida dan jenis oksigen reaktif yang berkenaan dalam respiratory burst, atau keduanya.
Komponen dinding sel bakteria seperti lipopolisakarida (LPS) merangsang produksi sitokinin seperti tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin 1 (IL-1) dan IL-6 oleh monosit dan makrofag. Sitokinin inflammatory menghubungkan antara sel-sel inflammatory dan imunitas spesifik karena dapat merangsang limfosit T dan B. Monosit dan makrofag juga dapat bertindak sebagai sel-sel penghasil antigen, yang membuat hubungan lain antara sistem imun spesifik dan bawaan.
Ketika limfosit T hadir bersama antigen, ia menjadi aktif menghasilkan sitokinin, akhirnya memasuki siklus sel dan membelah. Limfosit T diklasifikasikan ke dalam sel-sel T penolong. Limfosit T juga dapat dibagi lagi secara fungsional menurut pola sitokinin yang dihasilkan. Limfosit T penolong tipe 1menghasilkan IL-2 dan interferon γ(IFN- γ), sedangkan limfosit T penolong tipe 2 menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-10 (Kew et al.,2003a).
Pada manusia, malnutrisi protein-energi jelas menekan sistem cell mediated immune dan meningkatkan resiko infeksi. Malfungsi dari sistem imun juga dapat terjadi pada kondisi defisiensi Zn, vit A, dan asam lemak esensial/essential fatty acids (EFA) (Gurr, 1992). EFA merupakan asam lemak tak jenuh yang dibutuhkan untuk makanan yang sempurna yang harus tersedia dalam diet, karena tidak mampu disintesa oleh tubuh. Termasuk dalam kelompok ini adalah asam linoleat(C18-2n-6), linolenat (C18-3n-3) dan arakidonat (C20-4n-6), yang merupakan asam lemak tak jenuh ganda/PUFA (Anggorodi, 1984; Marinetti, 1990).
Marinetti (1990) membagi asam lemak tak jenuh ke dalam tiga kelompok, yaitu: asam oleat (ω-9), asam linoleat (ω-6) dan asam linolenat (ω-3), yang secara metabolis tidak dapat dipertukarkan. Penelitian tentang pengaruh PUFA (ω-6) dan (ω-3) terhadap sistem imun sudah dilakukan, dan studi epidemiologis memperlihatkan penurunan infeksi pada populasi yang mengkonsumsi PUFA (ω-3). Hal ini mengindikasikan pentingnya PUFA (ω-3) dalam sistem imun (Kelley et al., 1988).
Pemberian PUFA dalam diet dapat berpengaruh positif dalam menghindari terjadinya kelainan inflammatory dan autoimun yang akan mencegah terjadinya kondisi-kondisi seperti atherosclerosis dan rhematoid arthritis (Rundles, 2003). Hal ini karena PUFA merupakan bahan baku bagi tubuh untuk memproduksi substansi serupa hormon yang mengatur fungsi-fungsi tubuh secara luas, antara lain terhadap tekanan darah, formasi pembekuan darah, lemak darah, respons imun, respons inflamasi terhadap luka dan infeksi (Sizer dan Whitney, 2000).
Asam linoleat dan asam linolenat merupakan PUFA utama dalam kebanyakan diet. Asam linoleat adalah bentuk PUFA utama dalam tubuh, biasanya mencapai 12-15% dari asam lemak pada jaringan lemak. Pada jaringan tubuh bebaslemak terdapat tiga PUFA dari profil asam lemak (asam linolenat, asam arakidonat, asam docosaheksanoat) yang jumlahnya kurang dari 5%. Selain itu pada lemak tubuh, ada dua PUFA yang aktif secara biologis yaitu asam dihomo-γ-linolenat (C20:3n-6) dan asam eicosapentanoat (C20:5n-3), meskipun jumlahnya hanya 1-3% dari total asam lemak. Ikan laut merupakan sumber yang kaya PUFA.
Asam linolenat merupakan anggota utama dalam kelompok asam lemak ω-3, dan telah diakui peranannya dalam dunia kesehatan. Pertanyaan mengapa penduduk asli Greenland dan Alaska yang mengkonsumsi lemak tinggi jarang terkena penyakit jantung, terjawab dengan kenyataan bahwa mereka mengkonsumsi sejumlah besar ikan laut dan minyak yang terdapat di dalamnya. Minyak ikan mengandung asam eicosapentanoat (EPA) (C20:5n-3) dan asam docosa-heksanoat (DHA) (C22:6n-3) yang termasuk dalam kelompok asam lemak ω-3. Selain merupakan bagian terbesar dari cortex cerebral otak dan diperlukan bagi perkembangannya serta membantu pembentukan retina mata yang dibutuhkan untuk penglihatan normal, asam-asam lemak ini juga dapat dikonversi menjadi produk serupa hormon yang mempengaruhi jantung dan sistem imun (Sizer dan Whitney, 2000).
EPA mendapat perhatian khusus menyangkut fungsinya sebagai prekursor asam eicosanoid dengan jumlah karbon20, yang penting secara fisiologis. Asam ini termasuk kelompok substansi yang secara fisiologis potensial yaitu prostaglandin, thromboxan dan leukotrin. Ketiga substansi ini terbentuk dari prekursor asam lemak dengan masuknya atom oksigen ke dalam rantai asam lemak. Asam lemak terpenting yang bertindak sebagai prekursor untuk sintesa asam eicosanoid adalah asam arakhidonat. Proses oksigenasi terjadi dalam dua jalur utama, yaitu: jalur siklik yang membentuk prostaglandin dan thromboxan; dan jalur linier yang menghasilkan leukotrin (Groff dan Gropper, 2000).
Pembentukan prostaglandin dan thromboxan menjadi penting karena perannya dalam agregasi platelet. Ada dua jenis PUFA yang terlibat dalam produksi kedua substansi tadi, yaitu asam linoleat sebagai prekursor asam arakidonat dan asam linolenat sebagai prekursor EPA dan DHA.
Prostacyclin (prostaglandin siklik) (PGI) dan thromboxan (TXA) mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap agregasi platelet menurut tipenya. Asam arakidonat mengandung rasio PGI2/TXA2 yang cenderung merangsang agregasi platelet. Asam arakidonat juga berpotensi sebagai proinflammatory yang menyebabkan peningkatan produksi IL-1, TNF-α, IL-6. Sedangkan konsumsi ikan laut yang menyediakan EPA dalam jumlah tinggi dapat melindungi manusia dari trombosis dan serangan jantung karena mengandung rasio PGI3/TXA3 yang terbaik. Pemberian minyak ikanjuga diketahui dapat menekan produksi prostaglandin dan thromboxan dari asam arakidonat, sehingga membatasi pengaruh inflammatory dengan menghasilkan prostaglandindan leukotrin seri 3 dan 5 (Lands, 1982; Marinetti, 1990; McCowen dan Bistrian, 2003; Trebble, 2003).
Selain menghambat agregasi platelet, minyak ikan juga berpengaruh dalam hipolipidemia dan menurunkan kolesterol plasma, yang pada akhirnya akan meminimalisir pembentukan plak. EPA dalam minyak ikan jugadapat menurunkan produksi faktor pengaktif platelet/platelet activating-factor (PAF), dan bersifat anti inflamasi karena menekan produksi leukotrin-B4 dalam leukosit yang menyebabkan respons inflammatory pada leukosit (Marinetti, 1990).
 Meskipun EPA dan DHA dapat disintesa dari asam linolenat, tetapi kelebihan asupan asam linoleat dan asam α-linolenat tampaknya menghambat produksi asam lemak yang berasal dari kelompok yang sama. Oleh karena itu konsumsiikan tetap dibutuhkan untuk menjamin kecukupan EPA dan DHA untuk menjaga berbagai fungsi tubuh (Cunnane dan Griffin, 2002).

      2.3      VITAMIN A DAN RESPONS IMUN
Peranan vitamin A dalam sistem imun Vitamin A mempunyai peranan penting di dalam pemeliharaan sel epitel. Sel epitel merupakan salah satu jaringan tubuh yang terlibat di dalam fungsi imunitas non-spesifik. Imunitas non-spesifik melibatkan pertahanan fisik seperti kulit, selaput lendir, silia saluran nafas. Peranan vitamin A dalam sistem imunitas non spesifik terlihat pada integritas mukosa epitel yang telah banyak diuraikan oleh Sommer dan Tarwotjo dan Karyadi et al. 16,17.
 Hasil penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak kekurangan vitamin A berisiko menderita penyakit saluran pernafasan dan mengalami keparahan penyakit diare.16,17 Vitamin A juga mempunyai peranan dalam selsel mukosa saluran cerna. 18 Selain itu kekurangan vitamin A berdampak pada penglihatan yaitu dimulai dengan terganggunya integritas mukosa epitel, yang disebabkan karena hilangnya sel goblet penghasil mukus. 19 Vitamin A selain mempunyai peranan penting pada imunitas non-spesifik, juga berperan pada imunitas seluler.
Dalam bekerja imunitas seluler melibatkan sel darah putih baik mononuklear maupun polinuklear, serta sel NK (natural killer). Sel sel ini berperan sebagai sel yang menangkap antigen, mengolah dan selanjutnya mempresentasikan ke sel T, yang dikenal sebagai sel penyaji atau APC (antigen presenting cell) dan selanjutnya memacu produksi sitokin dan pada akhirnya meningkatkan produksi sel B dan antibodi. Beberapa hasil penelitian menemukan bahwa peranan vitamin A pada imunitas seluler yaitu dengan cara mengurangi fungsi neutrofil, makrofag, dan sel NK.20,21.

      2.4      ZAT BESI DAN RESPONS IMUN
Seperti kita ketahui bahwa besi sangat berperan dalam sintesa hemoglobin dan terkait erat dengan masalah anemia. Peranan zat besi berhubungan dengan kemampuannya dalam reaksi oksidasi dan reduksi, zat besi merupakan unsur yang sangat reaktif sehingga mampu berinteraksi dengan oksigen. Dalam keadaan teroksidasi, besi kehilangan tiga elektron sehingga memiliki tiga sisa muatan positif (Fe 3+ /feri), sedangkan dalam keadaan tereduksi besi kehilangan dua elektron sehingga memiliki dua sisa muatan positif (Fe2+ /fero).
Keberadaan besi dalam dua bentuk ion ini menyebabkan besi berperan dalam proses respirasi sel yaitu sebagai kofaktor bagi enzimenzim yang terlibat dalam reaksi oksidasireduksi. 5,35 Aktifitas SOD (superoksida dismutase) dan katalase bergantung pada zat besi ini. Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru. 22,26 Sebagian besar zat besi berada dalam hemoglobin, hemoglobin didalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbon dioksida dari seluruh sel keparu paru untuk dikeluarkan tubuh, selain itu zat besi juga berperan dalam imunitas dan pembentukan sel-sel limfosit.
Disamping itu dua protein pengikat besi yaitu transferin dan laktoferin dapat mencegah terjadinya infeksi dengan cara memisahkan besi dari mikroorganisme, karena besi diperlukan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak. Kekurangan besi akan berdampak pada reaksi imunitas berupa aktivitas neutrofil yang menurun, dan sebagai konsekuensinya kemampuan untuk membunuh bakteri intraseluler secara nyata menjadi terganggu. Sel NK sensitif terhadap ketidakseimbangan besi dan memerlukan jumlah besi yang cukup untuk berdiferensiasi dan berproliferasi, jika tubuh kekurangan besi kemampuan sel NK untuk membunuh bakteri menjadi rendah.31,35.

      2.5      ZINC DAN RESPONS IMUN
Zn memiliki fungsi yang sangat luas, karena Zn merupakan kofaktor lebih dari 200 enzim, yang berfungsi mengkatalisis metabolisme energi, karbohidrat dan lemak, degradasi/ sintesis protein, sintesis asam nukleat, sintesis heme, transpor CO2. Zn juga merupakan komponen membran sel, menstabilkan fungsi RNA, DNA dan ribosom, menstabilkan kompleks hormon dan reseptornya, serta perannya dalam meregulasi polimerisasi tubulin. Sehingga fungsi fisiologisnya penting bagi pertumbuhan sel dan jaringan, repklikasi sel, formasi tulang, integritas kulit, cell mediated immunity (CMI), bekerjanya berbagai hormone dan antioksidan dalam tubuh, sehingga defisiensi. Zn memberikan manifestasi klinik yang multipel, seperti retardasi pertumbuhan, maturasi seksual yang terlambat, impotensi, hipogonadism dan hipospermia, alopesia, lesi kulit dan epitel lain, gangguan perilaku dan intelektual, lesi mata, fotofobia dan buta senja, penurunan fungsi pengecapan dan nafsu makan, gangguan penyembuhan luka, dan defisiensi imun. Fungsi terakhir ini yang akan dibahas.
Perubahan distribusi Zn adalah bagian dari acute phase responcepada keadaan infeksi, yaitu terjadi pengaliran Zn dari sirkulasi ke dalam sel, terutama sel hati, timus, dan sumsum tulang. Efek ini dimaksudkan untuk meningkatkan metalothionein, yang pembentukannya diregulasi oleh IL-1. Zn juga diperlukan dalam transkripsi DNA dan translasi RNA, untuk proliferasi sel-sel limfoid sebagai respons imun. Defisiensi Zn mengakibatkan pengurangan massa jaringan limfoid lebih banyak daripada jaringan lain. Sehingga defisiensi Zn dapat mengganggu respons imun afektor dan efektor. Disamping itu, hormon timulin yang berfungsi dalam proses maturasi dan diferensiasi sel T adalah metaloprotein Zn. Akibatnya, terjadi atrofi timus, kegagalan maturasi dan replikasi sel T, limfopenia, kegagalan penyembuhan luka, menurunkan kemampuan delayed-type hypersensitivity (DTH), kegagalan CMI dan kerentanan terhadap penyakit. Pola ini terdapat pada anak-anak yang menderita acrodermatitis enteropathica, yaitu penyakit herediter dengan ketidakmampuan mengabsorpsi Zn. Anak-anak penderita penyakit ini mengalami kerusakan kulit yang berat, gangguan SSP, malfungsi gastrointestinal, dan infeksi berulang, terutama oleh jamur. Namun defek sistem imun ini dapat diperbaiki dengan suplementasi Zn.
Selain pengaruhnya yang sangat luas dan mendasar, tampak efek Zn pada fungsi imun saling terkait satu sama lain. IL-1 menginduksi ekspresi gen metalothionein dan mengalirkan Zn dari plasma ke jaringan. Pada saat yang bersamaan, produksi sitokin yang meregulasi sistem imun, yaitu IL-1, IL-2 dan IFN, membutuhkan Zn. Sehingga, penurunan respons proliferasi limfosit T bisa disebabkan karena perubahan metabolisme sitokin atau langsung pada penurunan replikasi DNA limfosit. Akibatnya terjadi kegagalan CMI, khususnya fungsi sel Tc dan Th. Defisiensi Zn juga menyebabkan gangguan fungsi sel NK, netrofil dan ADCC, serta akibatkan penurunan respon sekunder dan sel-sel memori.




      2.6      PERANAN MIKRONUTRIEN LAINNYA BAGI FUNGSI IMUN
a.       Vitamin C
Peranan vitamin C dalam sistem imun Vitamin C dikenal sebagai antioksidan yang membantu menetralisir radikal bebas. Vitamin C sebagai antioksidan karena kemampuannya dalam mereduksi beberapa reaksi kimia, salah satunya vitamin C mampu mereduksi spesies oksigen reaktif (SOR). Vitamin C juga mempunyai peran sebagai donor elektron. Kemampuan vitamin C sebagai donor elektron membuat vitamin C menjadi sangat efektif sebagai antioksidan karena vitamin C dapat dengan cepat memutus rantai reaksi SOR (Spesies Oksigen Reaktif) dan SNR (Spesies Nitrogen Reaktif).5 Peran vitamin C di dalam sistem imun terkait erat dengan peran vitamin C sebagai antioksidan. Oleh karena vitamin C mudah mendonorkan elektronnya ke radikal bebas maka sel-sel termasuk sel imun terlindung dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Winarsi 2007, melaporkan bahwa vitamin C meningkatkan fungsi imun dengan menstimulasi produksi interferon (protein yang melindungi sel dari serangan virus).
adalah salah satu sitokin yang dihasilkan karena adanya komunikasi sel yang baik dan untuk menjaga komunikasi tersebut tetap baik maka diperlukan sel imun yang sehat dengan membran sel yang utuh.26 Vitamin C juga mempunyai peran dalam sintesa kolagen untuk menjaga kesehatan kulit. Kulit adalah salah satu jaringan tubuh yang berperan di dalam imunitas non spesifk. Kulit yang utuh dan sehat dapat menjaga masuknya unsur patogen ke dalam tubuh. Kulit merupakan barier pertama yang menjaga masuknya benda asing sehingga mencegah terjadinya infeksi. Penelitian untuk menguji peranan vitamin C terhadap terjadinya infeksi telah dilakukan oleh Peter27, pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dengan dosis 600 mg/hari dapat menurunkan infeksi.
 Sementara itu hasil penelitian lain menyatakan bahwa bahwa konsumsi vitamin C 500-1000 mg/hari dapat memberikan efek antioksidan yang optimal.28 Kekurangan vitamin C dapat menimbulkan tanda-tanda klinis seperti perdarahan dan bengkak di gusi, rasa nyeri pada persendian akibat konsentrasi vitamin C di plasma darah dan leukosit yang sangat rendah. Kekurangan Vitamin C akut menyebabkan scorbut dan seseorang dengan kondisi kekurangan vitamin C dapat menurunkan kekebalan selulernya.

b.      Selenium
Selenium adalah mineral kelumit yang penting untuk sintesis protein dan aktivitas enzim glutation peroksidase (GSH-PX). Selenium dalam glutation peroksidase mempunyai peranan sebagai katalisator dalam pemecahan peroksida yang terbentuk di dalam tubuh menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik. Peroksida dapat berubah menjadi radikal bebas yang dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh yang ada pada membran sel, sehingga merusak membran sel. Oleh karena itu disebutkan dalam beberapa literatur bahwa selenium bekerjasama dengan vitamin E dan berperan sebagai antioksidan. Kerjasama tersebut terjadi karena vitamin E menjaga membran sel dari radikal bebas dengan melepas ion hidrogennya, sedangkan selenium berperan dalam memecah peroksida menjadi ikatan yang tidak reaktif sehingga tidak merusak asam lemak tidak jenuh yang banyak terdapat dalam membran, membantu mempertahankan integritas membran dan melindungi DNA dari kerusakan.
Integritas membran sel sangat diperlukan dalam sistem imunitas karena produksi sitokin sangat ditentukan oleh reseptor yang terdapat dalam membran sel, oleh karena itu selenium sangat diperlukan untuk meningkatkan imunitas seluler. Disamping itu kerusakan DNA juga akan mempengaruhi makrofag dalam fagositosis sehingga akan menurunkan fungsi makrofag sebagai APC. Kekurangan selenium yang berdampak pada imunitas sudah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pada keadaan kekurangan selenium akan terjadi penurunan titer IgG dan IgM, mengganggu kemotaksis neutrofil dan produksi antibodi oleh limfosit, mengganggu dan meningkatkan CD4+ dan menurunkan CD8+ .30,31

      2.7      ZAT GIZI DAN CYTOKINE
Secara umum, zat gizi mempengaruhi system imun melalui mekanisme pengaturan pengaruh ekspresi dan produksi cytokines. Karena pola produksi cytokines adalah penting untuk respons terhadap infeksi pathogen, ketidakseimbangan gizi yang serius pada akhirnya akan mempengaruhi pengembangan respon imun dimasa yang akan datang.
Namun, ketika malnutrisi menyebabkan kerentanan terhadap pathogen, infeksi subklinik sekalipun secara langsung mempengaruhi intake zat gizi dan metabolisme. Gangguan pada berbagai aspek imunitas, termasuk fagositosis, respons proliferasi sel ke mitogen, serta produksi T-lymphocytedan sitokin telah ditemukan pada kondisi kekurangan gizi (Chandra and Kumari, 1994; Chandra, 1990; Kulkarni et al.1994).

BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Status gizi merupakan determinan penting bagi respons imunitas.Perbaikan pada fungsi imunitas merupakan faktor antara peran gizi pada pencegahan penyakit infeksi. Gizi dan penyakit infeksi berkaitan secara sinergistis. Penelitian mutakhir menghasilkan paradigma baru kaitan antara gizi (diet) dan patogen (agen), yaitu diet diketahui mempengaruhi agen (misalnya terjadi mutasi virus). am memerangi malnutrisi dan infeksi, imunitas tubuh merupakan modal yang sangat vital, karenanya segala upaya preventif, kuratif, dan rehabilitatif diperlukan, termasuk dalam bidang gizi. Asupan makanan berperan langsung memperbaiki imunitas tubuh, khususnya melalui zat gizi spesifik penunjang sistem imun.

3.2 SARAN
Tingkat kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari tingkat kesehatan dari masyarakat di bangsa tersebut. Untuk itu marilah kita berusaha untuk meningkatkan status kesehatan Indonesia, lebih khususnya melalui status gizi bangsa ini.








DAFTAR PUSTAKA




Komentar

Postingan populer dari blog ini

METABOLISME KARBOHIDRAT DAN ANALISIS BIOKIMIANYA DALAM DARAH DAN URINE

KOMPOSISI TUBUH